Friday, 31 August 2018

Goenawan Mohamad

Mendengar Goenawan
"Yang Berani Hidup".
Comments
Ahmad Said Beberapa kalimat terakhir Goenawan Moehamad dalam kertas kerja beliau, “Arah Perkembangan Kesusastraan Indonesia”, berbunyi, “... Seakan-akan sudah diharamkan buat kesusasteraan untuk memanggul beban ide-ide, baik tentang apa yang harus maupun tentang apa yang hendak dikatakan seorang sastrawan melalui hasil sastranya. Dalam sikap sedemikian, satu-satunya ide tentang kesusastraan yang pokok ialah bahawa tidak adanya ide yang bisa diyakini secara tetap. Maka, jika segala pendirian adalah nisbi, juga pendirian kita saat ini, apa gunanya lagi buat berdebat dan berpolemik?”***” (lihat, Horison, 5-6, Mei-Juni 1973, muka surat 135.
Manage
Reply18w
Ahmad Said Melintasi ruangan, “Sajak-sajak Goenawan Mohamad”, Horison, Bilangan 11, November 1973, muka surat 333-341. Judul-judulnya, “Kwatrin Tentang Sebuah Poci”, “Sajak Anak-anak Mati”, “Di Kebun Jepun”, “Pada Sebuah Pantai: Interlude”, “Barangkali Telah Kuseka Namamu”, “Potret Taman Untuk Allen Ginsberg”, “Kematian Sang Juragan”, “Gatoloco”, “Tentang Sinterklas”, dan “Afterword”. Semua sajak tercipta pada tahun 1973.
Manage
Reply18w
Ahmad Said Ternyata, kertas kerja Goenawan Mohamad yang dinyatakan itu mendapat reaksi. Lihat, Ignas Kleden, “Pertanyaan kecil buat Goenawan Mohamad (tentang Horison, ide, idiologi dan Arief Budiman)”, Horison, bilangan 1 Januari 1975, muka surat 10-11. Goenawan Moehamad menjawab, “Jawaban Goenawan Mohamad”. Hanya, saya ingin menarik perhatian kepada sedikit kata-kata beliau dalam jawapan tersebut, “Dewasa ini tidak ada lagi di antara kita seorang tokoh seperti Kassim Ahmad di Malaysia, seorang sasterawan dan cendekiawan kiri yang bisa mengutarakan dan mempertahankan pendiriannya – secara eksplisit maupun tidak – dengan daya desak intelektuil yang cukup, tanpa gertakan-gertakan slogan.” (muka surat 11).
Manage
Reply18w
Ahmad Said Sajak-sajak yang judul-judulnya dinyatakan di atas telah dibukukan menjadi “Interlude”, Yayasan Indonesia, Jakarta, 1973 (30 halaman). Beberapa sajak berkenaan telah disentuh oleh M.S. Hutagalung dalam “Tinjauan Buku Interlude”, Horison, bilangan 1, Januari 1975, muka surat 18-19. Bagi beliau, sajak-sajak Goenawan Mohamad sukar difahami. Beberapa sahaja upaya ditanggapi sedangkan yang lain-lain “masih tetap mermbisu bagi saya.”

No comments:

Post a Comment