Pantulan 36/15: Usia derita
Aku menghadapi dilema untuk memantul sajak-sajak karyawan jempolan,Siti Zaleha M. Hashim, sama ada yang berjudul “Dunia Puisi” ataukah “Orang Tua”, (Puisi Pilihan), Dewan Sastera, Oktober 2003, muka surat 33-35. Akhirnya, diberati usia sendiri, sajak yang kedua menambat hati.
Apakah, dalam keterpinggiran melangkah denai kembali, tak terharu kita jika nasib yang sama menimpa? Ketika usia muda, dikerumuni putera-puteri, mudah benar kita melupakan suasana dan ikatan demikian akan terhenti sebelum pun kita mati. Ini tragedi angkara sendiri, suami-isteri. Sebabnya di kalangan seisi keluarga tiada terbina kasih sayang atau kecenderungan bersimpati apabila tiba masa yang dewasa, lanjut usia sudah tidak lagi mampu berdikari. Siapakah yang salah; ibu-ayah atau anak kandung jantung hati ketika bayi? Maka, yang seharusnya ditanya sesungguhnya ialah wajarkah kita meruntuhkan mahligai kekeluargaan yang mendasari kebahagiaan penghidupan duniawi dan ukhrawi? Masihkah, sedang masa terbuka, kita ketepikan pendidikan mencukupi kepada warisan sendiri yang mengakibatkan kita kelak, ketika bergelar datuk dan nenek, sepi menanti seruan Ilahi di penjara institusi? Tergamakkah kita membenarkan kesendirian di ujung hayat, tidak dilawati bahkan tak diingati tetesan keturunan?
(Nota: Kujumpai, “Orang Tua” sekali lagi dalam kumpulan puisi, “Kristal di Laut Bulan”, Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006, cetakan pertama, halaman 46).
No comments:
Post a Comment